Teori
Desentralisasi Asimetris
Desentralisasi Asimetris (Assymetric Decentralization)
Desentralisasi asimetris adalah pemberlakuan kewenangan khusus pada wilayah‐wilayah tertentu dalam suatu negara, yang dianggap sebagai alternatif untuk menyelesaikan pelbagai permasalahan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemberlakuan desentralisasi asimetris (assymetric decentralization) atau otonomi asimetris (assymmetric authonomy) dimaksud atau diaktualisasikan melalui pemberian status otonomi khusus seperti Aceh dan Papua. Penerapan kebijakan desentralisasi asimetris (assymetric decentralization) atau otonomi asimetris (assymetric authonomy), merupakan sebuah manifestasi dari usaha pemberlakuan istimewa.
Desentralisasi asimetris diberlakukan di daerah tertentu dalam pelbagai hal misalnya otonomi khusus dalam hal ekonomi, politik, kebijakan fiskal, kesejarahan, administratif, sampai budaya dan kearifan lokal. Misalnya seperti yang terjadai di NAD, DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Papua.
Dalam tataran teknis lapangan desentralisasi asimetrik (assymetric decentralization) memiliki beberapa manfaat diantaranya sebagai berikut;
1. Sebagai solusi terhadap konflik yang cenderung akan terjadi pada etnis daerah yang akan diterapkan desentralisasi asimetrik ini. Artinya desentralisasi asimetrik dapat memberikan solusi awal baik secara politik, ekonomi maupun sosial budaya.
2. Sebagai respon demokratis dan rasa damai terhadap keluhan atau masalah yang dihadapi kelompok kaum minoritas yang hak‐haknya selama ini cenderung dilanggar atau kurang diperhatikan. Dalama hal ini bila dilihat seperti yang terjadi NAD, dimana Aceh dikhususkan untuk boleh mendirikan partai politik lokal, mendapatkan dana alokasi khusus yang lebih besar sebagai manifestasi desentralisasi asimetrik itu sendiri.
3. Sebagai bentuk pengistimewaan daerah baik secara fiskal perekonomian maupun secara hal politik. Misalnya di Papua yang memiliki desentralisasi asimetrik di bidang ekonomi.
Mohammad Abud Musa’a : Disampaikan dalam Simposium Nasional Papua “Menuju Pembangunan Berbasis Masyarakat yang Berkelanjutan” tanggal 7-9 April 2010, di Universitas Indonesia Jakarta
MENGELOLA
DESENTRALISASI ASIMETRIS
Perbincangan desentralisasi dan otonomi
daerah di Indonesia tidak akan pernah berhenti. Konstitusi kita memberikan
ruang dengan mengakui praktek desentralisasi dan otonomi daerah baik yang
generalis berlaku nasional dan juga ada berlaku khusus atau asimetrik (asymmetric
autonomy). Hari-hari ini kita semua sedang menghadapi sebuah tantangan untuk
mengelola desentralisasi asimetris agar lebih bermakna baik bagi Aceh dan
Papua.
Kemaren, Rabu, 9 November 2011, lebih
dari dua jam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggelar Sidang Kabinet
Terbatas mengenai Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua
Barat (UP4B). Unit ini akan melakukan langkah-langkah terobosan (breakthrough) untuk
memastikan pelaksanaan Otonomi Khusus Papua yang lebih baik. Kita tidak bisa
melangkah dengan business as usual, namun perlu think out the
box yang bersifat terobosan.
Selain soal Papua, beberapa minggu
terakhir ini, Presiden SBY juga sibuk dalam menangani kemelut Pilkada Aceh.
Gubernur Aceh dan KIP Aceh ingin melaksanakan putusan Mahkamah Konstutusi (MK)
terkait diperbolehkannya calon perseorangan dalam Pilkada Aceh. Sementara itu,
Partai Aceh dan DPR Aceh menolaknya karena keputusan ini mengancam UU No.
11/2006 tentang Pemerintahan Aceh sebagai hasil kesepakatan damai Helsinki
2005.
Dua cerita diatas menggambarkan bahwa
agenda yang cukup penting di dalam mengelola otonomi daerah dan desentralisasi
yang bersifat asimetrik ini dalam kerangka hubungan antara pusat - daerah.
Sebenarnya, saat ini kita telah melaksanakan sebuah ‘revolusi diam-diam",
atau "the quite revolution" dalam konteks hubungan pusat-daerah.
Apa "revolusi diam-diam itu"?
Tahun lalu, tepatnya pada 16 Agustus 2010, Presiden SBY menyatakan bahwa dalam
satu dekade ini kita melaksanakan proses desentralisasi yang sangat ekstensif.
Pemilihan kepala daerah secara langsung di seluruh Indonesia. Hasilnya, peta
politik Indonesia telah berubah secara fundamental. Lebih lanjut, Presiden SBY
berujar bahwa proses politik yang sangat rumit ini berlangsung dalam waktu
relatif singkat dan tanpa menimbulkan gejolak atau guncangan sosial yang serius
kecuali pada periode awalnya. Kini, Indonesia dikenal sebagai negeri demokrasi
terbesar ketiga setelah India dan Amerika Serikat. Tidak mengejutkan bila ada
yang mengatakan bahwa ini sesungguhnya adalah revolusi diam-diam, atau
"the quiet revolution".
Dalam mengelola "revolusi
diam-diam" ini, tentu saja tidak berjalan linier tanpa ada hambatan,
rintangan dan tantangan. Pemerintah tidak hanya sebagai entitas tunggal yang
menentukan kesuksesan desentralisasi dan otonomi daerah. Ada aktor dan
institusi lainnya yang juga berperan, baik institusi legislatif, yudikatif,
maupun partai politik. Keputusan lembaga-lembaga lainnya seperti Mahkamah
Konstitusi juga turut berpengaruh bagi kesuksesan pelaksanaan otonomi asimetrik
di Aceh. Karena itu, menjadi tugas kolektif kita untuk memahami nuansa batin
dan konteks atas kehadiran suatu regulasi yang bersifat asimetik ini, baik
untuk Aceh maupun Papua.
Untuk itu, mengelola desentralisasi asimetris
Aceh dan Papua haruslah mengedepankan pendekatan yang smart dan utuh,
demikian ujar Presiden SBY. Tantangan kita ke depan, sebagaimana dinyatakan di
dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 adalah meneguhkan
kembali makna penting persatuan nasional dengan memperhatikan berbagai
keanekaragaman latar belakang, kondisi, dan konteks dalam payung NKRI.
1. Selama
ini cukup sering muncul pertanyaan yang belum terjawab tuntas, yakni: “apakah
kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 32/2004 juga mengakomodir
desentralisasi asimetris?” Banyak pihak yang menyatakan bahwa kajian tentang
desentralisasi asimetris tidak terlalu urgen mengingat UU No. 32/2004 sendiri
sesungguhnya sudah bersifat asimetris. Hal ini bisa dilihat misalnya dari
konsep kewenangan pilihan sesuai dengan potensi daerah, atau tipologi besaran
OPD yang berbeda, atau variasi jumlah DAU yang diterima, atau beragamnya Perda
yang diterbitkan, hingga keleluasaan kebijakan lain yang dimiliki oleh daerah.
Dengan kata lain, desentralisasi di Indonesia saat ini adalah desentralisasi
asimetris. Tugas tim peneliti selanjutnya adalah mencari faktor determinan yang
menjadikan kebijakan ini cenderung seragam (simetris) pada tahap
implementasinya.
Namun saya memiliki pandangan pribadi
yang agak berbeda. Bagi saya, desentralisasi UU No. 32/2004 dan UU Pemerintahan
Daerah sebelumnya masih bernuansa sentralistis, karena perbedaan yang diusung
masih pada tataran prinsip (beginsel) dan belum sampai kepada tataran
implementasi (praktijk). Pengakuan terhadap keanekaragaman daerah bahkan
hak-hak asal-usul (autochtoon rechts) ternyata masih pada level konstitusi, dan
belum menjelma dalam aktualisasi kebijakan, terutama dibawah UUD dan UU. Dalam
praktiknya, peraturan perundang-undangan setingkat PP kebawah nampaknya memberi
pedoman yang cenderung seragam, hanya berbeda dalam kadarnya saja.
Artinya, desentralisasi yang masih
seragam secara prinsipiil pada hakekatnya adalah sentralisasi. Desentralisasi
yang hakiki harus membuka kemungkinan perbedaan se-ekstrim apapun sepanjang
perbedaan tersebut benar-benar obyektif/faktual, dapat dibuktikan/dilacak
secara akademik, dan mendapat pengakuan luas dari publik. Perbedaan-perbedaan
seperti wewenang pilihan, tipologi besaran OPD, variasi jumlah DAU, atau
keragaman Perda, hanyalah perbedaan dalam skala(perbedaan administratif),
bukan perbedaan dalam identitas(perbedaan substantif/prinsip/material).
Artinya, perbedaan dalam wewenang pilihan, tipologi besaran OPD, variasi jumlah
DAU, dan lain-lain cukup diterjemahkan sebagai wewenang yang asimetris,
kelembagaan OPD yang asimetris, dan perimbangan keuangan yang asimetris, namun bukan
desentralisasi asimetris.
Perbedaan skala diatas saya maksudkan
sebagai sebuah kondisi yang relatif sama dan ada di sebagian besar daerah
otonom, hanya berbeda dalam skalanya saja. Sementara perbedaan identitas saya
maknakan sebagai sebuah kondisi faktual yangada di suatu daerah otonom,
namun tidak ditemukan sama sekali di daerah otonom yang lain. Meskipun
perbedaan dalam skala tetap layak diapresiasi dalam koridor perwujudan
pemerintahan demokratis (democratic governance), namun kebijakan desentralisasi
di Indonesia akan lebih meyakinkan disebut asimetris yang hakiki jika berani
mengakomodir jenis perbedaan yang kedua.
2. Kondisi
antar daerah di Indonesia yang teramat berbeda juga mempersulit diskursus serta
upaya mendesain kebijakan tentang desentralisasi asimetris. Paling tidak,
keragaman daerah di Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok,
yakni:
a. Secara
sosiologis, ada daerah yang memiliki latar belakang budaya (cultural affairs)
yang sangat khas, yang secara fisik membedakan dengan identitas budaya yang
lain. Contoh konkrit faktor budaya ini misalnya Papua yang merupakan ras
Polinesia, sementara bagian barat dan tengah Indonesia sebagian besar adalah
ras Melanesia.
b. Secara
historis politis, ada daerah yang memiliki hak atas territorial (right to
territorial integrity), dan hak menentukan nasib sendiri, termasuk memilih
pemimpinnya (right to self-determination). Contohnya adalah DIY yang merupakan
eks kerajaan Mataram dengan wilayah sebagian Jawa Tengah dan Jawa Timur dan
memiliki perjanjian politik dengan pemerintah Belanda (http://id.wikisource.org/wiki/Perjanjian_Politik_1940).
Daerah dengan faktor sosiologis kultural maupun
historis politis seperti itulah yang secara konseptual paling berhak untuk
menerima desentralisasi asimetris. Diluar kedua karakter dasar tersebut memang
dimungkinkan adanya perbedaan antar daerah, yang kemudian direspon dengan treatment kebijakan
yang berbeda (asimtris). Bedanya, kebijakan asimetris untuk kategori (a) dan
(b) diatas muncul karena dorongan dari bawah, sementara pada daerah lain yang
tidak memiliki alasan sosiologis kultural maupun historis politis, kebijakan
asimetrisnya lebih merupakan grant dari atas (pemerintah pusat).
TIDAK dapat disangkal lagi bahwa desentralisasi
merupakan sebuah trend global yang sangat dipercaya mampu mengatasi berbagai
persoalan negara-negara modern. Di Indonesia sendiri, desentralisasi merupakan
perubahan radikal yang berjalan dalam satu paket dengan reformasi politik, yang
ditandai dengan runtuhnya rezim Orde Baru di penghujung akhir abad 20. Oleh
karena desentralisasi dan reformasi politik merupakan suatu paket perubahan
dalam manajemen negara dan pemerintahan, wajarlah jika salah satu tuntutan utama
dari aksi reformasi adalah penerapan desentralisasi yang hakiki, bukan
desentralisasi yang sentralistis sebagaimana terjadi dimasa sebelumnya.
Setelah big bang decentralization dibawa
oleh UU No. 22/1999, nampaknya terjadi pelambatan sejak diganti dengan UU No.
32/2004. Akibatnya, baru dalam hitungan dua atau tiga tahun, tuntutan untuk
melakukan revisi sudah cukup santer. Salah satu aspirasi untuk melakukan revisi
adalah bagaimana daerah diberikan lagi kebebasan atau kemandirian yang lebih
besar untuk mengurus rumah tangganya. Dengan kata lain, desentralisasi yang ada
saat ini masih dinilai besar kadar sentralisasinya, sehingga perlu dikembangkan
ide berupa desentralisasi yang asimetris.
Namun bicara soal desentralisasi, pasti akan selalu
rumit. Dan karena kerumitan itulah maka pembicaraan soal desentralisasi selalu
menarik. Salah satu kerumitan dalam diskusi desentralisasi adalah adanya
variabel bentuk negara kesatuan (unitary state). Pertanyaan klasiknya adalah:
“Sejauhmana kewenangan (degree of freedom) yang dapat dimiliki daerah otonom,
dan sejauhmana pula pembatasan terhadap hak turut campur (degree of
intervention) pemerintah pusat terhadap daerah?”. Literatur manapun hingga saat
ini belum ada yang berani membuat kesimpulan terkait dengan proprosi ideal
antara degree of freedom dengan degree of interventiontersebut.
Pertanyaan yang menggelitik lainnya adalah:
”Logiskah sebuah negara berbentuk kesatuan memberikan desentralisasi kepada
daerah-daerah di wilayahnya secara tidak seragam (asymmetrical decentralization)?
Bukankah hal tersebut sudah mengarah pada bentuk negara federasi?”. Meskipun
pertanyaan tersebut sangat logis, namun filosofi desentralisasi sendiri justru
ingin menghilangkan keseragaman yang diciptakan oleh pusat, serta mengakui hak-hak
tradisional masyarakat yang memiliki karakteristik beranekaragam serta
ke-khas-an sejarah, budaya, etnologi, pranata dan nilai-nilai sosial, maupun
kearifan lokal lainnya. Desentralisasi yang mengabaikan fakta obyektif berupa
artitektur kekayaan dan warisan budaya (social endowment), atau yang berpikir
bahwa masyarakat bergerak linier dalam satu arah dan cara yang sama, bukanlah
desentralisasi yang sesungguhnya.
Maka, ketika UU Nomor 22/1999 diganti dengan UU
Nomor 32/2004, muncullah banyak kritik dan keberatan dari berbagai kalangan,
khususnya aktor-aktor di tingkat lokal. Aturan yang baru ini dianggap membawa
agenda sentralisasi atau penyeragaman baru. Semangat keragaman menjadi menipis,
dan pengakuan terhadap karakteristik yang khas dari suatu daerah semakin
menghilang. Atas berbagai kritik ini, berkembanglah wacana tentang
desentralisasi asimetris tadi.
Oleh sebab itu, gagasan tentang desentralisasi
asimetris mestinya tidak dipersepsi sebagai bentuk penyimpangan dari ide dasar
desentralisasi negara kesatuan, namun justru dipandang sebagai instrumen untuk
memperkuat tujuan desentralisasi yakni menciptakan efektivitas dan efisiensi
penyelenggaraan negara, sekaligus memperkokoh struktur demokrasi di tingkat
lokal. Pembangunan demokrasi lokal memiliki probabilitas untuk lebih diperkuat
dengan cara mengakui dan mengakomodasikan setiap perbedaan karakteristik,
potensi, kebutuhan, dan latar belakang sejarah masing-masing daerah kedalam
sistem kebijakan nasional. Dan mengingat bahwa setiap daerah / wilayah dalam
sebuah negara memiliki anatomi politik, sosial, maupun kultural yang beragam,
maka desain desentralisasi yang berbeda (atau asimetris) menjadi alternatif
yang strategis untuk menghindari terjadinya kekecewaan daerah terhadap
pemerintah nasional. Itulah sebabnya, baik di negara kesatuan maupun di negara
federal pada masa modern sekarang ini, desentralisasi cenderung tidak sekedar
dijadikan sebagai strategi politik melalui transfer wewenang/kekuasaan, atau
strategi ekonomi melalui perimbangan keuangan dan fiskal, namun juga menjadi
strategi kultural untuk merealisasikan prinsip diversity in unity atau unity
in diversity.
Konsep desentralisasi asimetris sendiri
berkembang dari konsep tentang asymmetric federation yang
diperkenalkan oleh Charles Tarlton pada tahun 1965 (Tillin, 2006: 46-48).
Menurut Tillin, terdapat dua jenis asymmetric federation, yakni de
facto dan de jure asymmetry. Jenis pertama merujuk pada adanya
perbedaan antar daerah dalam hal luas wilayah, potensi ekonomi, budaya dan
bahasa, atau perbedaan dalam otonomi, sistem perwakilan atau kewenangan yang
timbul karena adanya perbedaan karakteristik tadi. Sedangkan asimetri kedua
merupakan produk konstitusi yang didesain secara sadar untuk mencapai tujuan
tertentu. Hal ini berhubungan dengan alokasi kewenangan dalam besaran yang
berbeda, atau pemberian otonomi dalam wilayah kebijakan tertentu, kepada daerah
tertentu saja.
Jika di negara federal terdapat dua jenis federasi
asimetris, jenis-jenis atau bentuk-bentuk desentralisasi asimetris apa saja
yang dapat diperkenalkan untuk negara kesatuan, khususnya Indonesia? Dalam hal
ini, paling tidak ada tiga bentuk yang dapat dipertimbangkan dan/atau
dikembangkan lebih lanjutdalam konteks revisi UU Pemerintahan Daerah.
Pertama, desentralisasi asimetris yang dikemas dalam
kerangka UU yang berlaku saat ini, yakni UU Nomor 32/2004. Harus diakui
bahwa UU ini sebenarnya membuka peluang terjadinya desentralisasi asimetris,
meski hanya dilihat dari jenis atau bidang urusan pemerintahan saja. Konsep
urusan konkuren (urusan yang dilaksanakan bersama-sama), mestinya disikapi
setiap daerah dengan mengidentifikasikan potensi dan karakteristik daerahnya
masing-masing, dan tidak perlu berpretensi bahwa seluruh bidang urusan harus
dilaksanakan oleh daerahnya. Sebuah daerah yang tidak memiliki wilayah laut,
tentu tidak layak membentuk Dinas Perikanan dan Kelautan. Demikian pula suatu
daerah yang bercirikan kota besar, bahkan metropolitan, pembentukan Dinas
Kehutanan dan Perkebunan adalah hal yang tidak perlu. Jika setiap daerah tidak
memiliki orientasi untuk membentuk kelembagaan secara maksimal, maka
desentralisasi asimetris berdasarkan jenis-jenis urusan akan terbangun dengan sendirinya.
Kedua, desentralisasi asimetris sesungguhnya
juga sudah terjadi di Indonesia dalam bentuk variasi otonomi yang diberikan
kepada daerah. Saat ini, terdapat empat bentuk otonomi daerah, yakni: 1)
otonomi luas untuk kabupaten/kota secara umum, 2) otonomi terbatas untuk
provinsi, 3) otonomi khusus untuk Papua ( UU No. 21/1999) dan Nangroe Aceh
Darussalam (UU No. 18/1999 jo. UU No. 11/2006), serta 4) otonomi khusus Jakarta
sebagai Ibukota Negara (UU No. 29/2007). Ketika beberapa bentuk otonomi dijalankan
secara bersamaan seperti inilah, maka asymmetric decentralization telah
terjadi.
Ketiga, desentralisasi asimetris yang lebih
bervariasi dibanding bentuk pertama dan kedua diatas. Dalam bentuknya yang
paling luas ini, desentralisasi asimetris merupakan reaksi atautreatment individual
pemerintah pusat kepada daerah berdasarkan kebutuhan nyata, potensi, dan akar
permasalahan yang ada di daerah tersebut. Bali, misalnya, selain memiliki
otonomi terbatas sebagai sebuah provinsi, perlu diberikan otonomi khusus dalam
bidang kebudayaan, pariwisata dan pengembangan kepercayaan (cq. Agama Hindu).
Yogyakarta juga dapat diberikan otonomi khusus dengan pertimbangan sejarah,
kedudukan pimpinan daerah, dan akar politik lama sebagai bekas negara yang
berdaulat (Kasultanan). Sementara Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat dapat
diberikan otonomi khusus dalam pembangunan kawasan dan pengelolaan sumber daya
alam wilayah perbatasan. Pada saat yang sama, tujuh provinsi kepulauan (Maluku,
Maluku Utara, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bangka
Belitung, dan Kepulauan Riau) harus diberikan wewenang tambahan yang lebih
luas di bidang perhubungan laut dan udara, perikanan dan kelautan, serta
konservasi lingkungan hidup. Singkatnya, Pusat dapat memberikan model-model
otonomi berdasarkan identifikasi dan usulan spesifik dari setiap daerah.
Apakah pemberian desentralisasi asimetris tadi akan
mengancam keutuhan negara kesatuan (cq. NKRI)? Kekhawatiran ini nampaknya
terlalu berlebihan, mengingat negara-negara kesatuan di dunia juga banyak yang
menerapkan desentralisasi asimetris, seperti di Jepang, China, atau Perancis.
Faktanya, meskipun mereka menerapkan desentralisasi asimetris, namun keutuhan
atau integritas negara kesatuan tidak tergoyahkan, dengan pengecualian ”kasus
kecil” berupa gerakan separatisme di Uighur, China.
Di Jepang, desentralisasi asimetris bisa disaksikan
dalam kebijakan Penetapan suatu daerah sebagai kota inti (Chukaku-shi)
atau kota dengan kasus istimewa (Tokurei-shi). China juga memberikan perlakuan
berbeda kepada daerah melalui penerapan konsep market decentralization. Berdasarkan
konsep ini, pemerintah China menciptakan kawasan ekonomi khusus, kota-kota
pantai (open coastal cities), dan zona pembangunan. Pada tahun 1978 ditetapkan
empat kawasan ekonomi khusus, yakni Shenzhen, Zhuhai, Shantou dan Xiamen.
Kebijakan ini dibarengi juga dengan pemberian otonomi yang sangat luas kepada
provinsi Guangdong and Fujian untuk membangun ekonomi di wilayahnya, misalnya
diberikannya kewenangan untuk menyetujui investasi bernilai lebih dari US $ 30
juta. Untuk lebih memperkuat market decentralization tadi, hingga
1984 telah ditetapkan 14 kota-kota pantai dan beberapa kota di pedalaman
(sepanjang daerah aliran sungai Yangtze dan perbatasan dengan Russia) yang
diberikan kewenangan luas serupa dengan kawasan ekonomi khusus (Montinola, Qian
and Weingast, dalam Basuki, 2006). Hal serupa terjadi di Perancis dimana
dari 22 Region yang ada, wilayah Corse atau Corsica merupakan region yang
diberi otonomi khusus yang tidak dimiliki oleh 21 Region lainnya. Secara
obyektif hal ini didorong oleh posisi geografis Corsica yang agak terpisah dari
wilayah daratan serta memiliki latar belakang sejarah yang spesifik.
Selain itu, dapat dikatakan pula bahwa
desentralisasi asimetris bukan hanya layak dikembangkan di negara federal.
Konsep otonomi pada negara kesatuan dan negara federal sesungguhnya tidak dapat
dibedakan secara mendasar, seperti dikatakan Work (2002: 11): ”There is no
broad-based generalisation that can be made about the correlation of
federal/unitary states and decentralisation”. Fakta menunjukkan bahwa
negara federal dapat bersifat sangat sentralistis, seperti Malaysia,
sebaliknya negara kesatuan seperti China justru memiliki derajat
desentralisasi (ekonomi) yang relatif tinggi.
Meskipun demikian, ada sebuah trend yang terjadi di
kedua bentuk negara, yakni pergerakan bandul sistem politik yang lebih mengarah
pada penguatan desentralisasi serta keseimbangan wewenang dan tanggungjawab
dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Hal ini berimplikasi pada
tuntutan untuk mengurangi campur tangan atau wewenang pusat, yang selama ini
dikemas dalam kerangka dekonsentrasi. Pergerakan bandul desentralisasi itu
sendiri memiliki kecepatan dan variasi yang berbeda di masing-masing negara, yang
mendorong terjadinya konstruksi desentralisasi secara asimetris.
Yang pasti, desentralisasi bukanlah tujuan.
Desentralisasi, apakah simetris atau asimetris, hanyalah alat untuk mewujudkan
tujuan berbangsa dan bernegara, yakni pemerintahan yang bersih dan efektif
disatu sisi, serta masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera disisi lain. ©
Tidak ada komentar:
Posting Komentar