Rabu, 28 November 2012

DESENTRALISASI ASIMETRIS


Teori Desentralisasi Asimetris

Desentralisasi Asimetris (Assymetric Decentralization)
Desentralisasi asimetris adalah pemberlakuan kewenangan khusus pada wilayah
wilayah tertentu dalam suatu negara, yang dianggap sebagai alternatif untuk menyelesaikan pelbagai permasalahan hubungan  antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemberlakuan desentralisasi asimetris (assymetric decentralization) atau otonomi asimetris (assymmetric authonomy) dimaksud atau diaktualisasikan melalui pemberian status otonomi khusus seperti  Aceh dan Papua. Penerapan kebijakan desentralisasi asimetris (assymetric decentralization) atau  otonomi asimetris (assymetric authonomy), merupakan sebuah manifestasi dari usaha pemberlakuan istimewa.
Desentralisasi asimetris diberlakukan di daerah tertentu dalam pelbagai hal misalnya otonomi khusus dalam hal ekonomi, politik, kebijakan fiskal, kesejarahan, administratif, sampai budaya dan kearifan lokal. Misalnya seperti yang terjadai di NAD, DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Papua.

 Dalam tataran teknis lapangan desentralisasi asimetrik (assymetric decentralization) memiliki beberapa manfaat diantaranya sebagai berikut;
1. Sebagai solusi terhadap konflik yang cenderung akan terjadi pada etnis daerah yang akan diterapkan desentralisasi asimetrik ini. Artinya desentralisasi asimetrik dapat memberikan solusi awal baik secara politik, ekonomi maupun sosial budaya.
2. Sebagai respon demokratis dan rasa damai terhadap keluhan atau masalah yang dihadapi kelompok kaum minoritas yang hak
haknya selama ini cenderung dilanggar atau kurang diperhatikan. Dalama hal ini bila dilihat seperti yang terjadi NAD, dimana Aceh dikhususkan untuk boleh mendirikan partai politik lokal, mendapatkan dana alokasi khusus yang lebih besar sebagai manifestasi desentralisasi asimetrik itu sendiri.
3. Sebagai bentuk pengistimewaan daerah baik secara fiskal perekonomian maupun secara hal politik. Misalnya di Papua yang memiliki desentralisasi asimetrik di bidang ekonomi.
 Mohammad Abud Musa’a : Disampaikan dalam Simposium Nasional Papua “Menuju Pembangunan Berbasis Masyarakat yang Berkelanjutan” tanggal 7-9 April  2010, di Universitas Indonesia Jakarta

MENGELOLA DESENTRALISASI ASIMETRIS
Perbincangan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia tidak akan pernah berhenti. Konstitusi kita memberikan ruang dengan mengakui praktek desentralisasi dan otonomi daerah baik yang generalis berlaku nasional dan juga ada berlaku khusus atau asimetrik (asymmetric autonomy). Hari-hari ini kita semua sedang menghadapi sebuah tantangan untuk mengelola desentralisasi asimetris agar lebih bermakna baik bagi Aceh dan Papua.
Kemaren, Rabu, 9 November 2011, lebih dari dua jam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggelar Sidang Kabinet Terbatas mengenai Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B). Unit ini akan melakukan langkah-langkah terobosan (breakthrough) untuk memastikan pelaksanaan Otonomi Khusus Papua yang lebih baik. Kita tidak bisa melangkah dengan business as usual, namun perlu think out the box yang bersifat terobosan.
Selain soal Papua, beberapa minggu terakhir ini, Presiden SBY juga sibuk dalam menangani kemelut Pilkada Aceh. Gubernur Aceh dan KIP Aceh ingin melaksanakan putusan Mahkamah Konstutusi (MK) terkait diperbolehkannya calon perseorangan dalam Pilkada Aceh. Sementara itu, Partai Aceh dan DPR Aceh menolaknya karena keputusan ini mengancam UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh sebagai hasil kesepakatan damai Helsinki 2005.
Dua cerita diatas menggambarkan bahwa agenda yang cukup penting di dalam mengelola otonomi daerah dan desentralisasi yang bersifat asimetrik ini dalam kerangka hubungan antara pusat - daerah. Sebenarnya, saat ini kita telah melaksanakan sebuah ‘revolusi diam-diam", atau "the quite revolution" dalam konteks hubungan pusat-daerah.
Apa "revolusi diam-diam itu"? Tahun lalu, tepatnya pada 16 Agustus 2010, Presiden SBY menyatakan bahwa dalam satu dekade ini kita melaksanakan proses desentralisasi yang sangat ekstensif. Pemilihan kepala daerah secara langsung di seluruh Indonesia. Hasilnya, peta politik Indonesia telah berubah secara fundamental. Lebih lanjut, Presiden SBY berujar bahwa proses politik yang sangat rumit ini berlangsung dalam waktu relatif singkat dan tanpa menimbulkan gejolak atau guncangan sosial yang serius kecuali pada periode awalnya. Kini, Indonesia dikenal sebagai negeri demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika Serikat. Tidak mengejutkan bila ada yang mengatakan bahwa ini sesungguhnya adalah revolusi diam-diam, atau "the quiet revolution".
Dalam mengelola "revolusi diam-diam" ini, tentu saja tidak berjalan linier tanpa ada hambatan, rintangan dan tantangan. Pemerintah tidak hanya sebagai entitas tunggal yang menentukan kesuksesan desentralisasi dan otonomi daerah. Ada aktor dan institusi lainnya yang juga berperan, baik institusi legislatif, yudikatif, maupun partai politik. Keputusan lembaga-lembaga lainnya seperti Mahkamah Konstitusi juga turut berpengaruh bagi kesuksesan pelaksanaan otonomi asimetrik di Aceh. Karena itu, menjadi tugas kolektif kita untuk memahami nuansa batin dan konteks atas kehadiran suatu regulasi yang bersifat asimetik ini, baik untuk Aceh maupun Papua.
Untuk itu, mengelola desentralisasi asimetris Aceh dan Papua haruslah mengedepankan pendekatan yang smart dan utuh, demikian ujar Presiden SBY. Tantangan kita ke depan, sebagaimana dinyatakan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 adalah meneguhkan kembali makna penting persatuan nasional dengan memperhatikan berbagai keanekaragaman latar belakang, kondisi, dan konteks dalam payung NKRI.
1.      Selama ini cukup sering muncul pertanyaan yang belum terjawab tuntas, yakni: “apakah kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 32/2004 juga mengakomodir desentralisasi asimetris?” Banyak pihak yang menyatakan bahwa kajian tentang desentralisasi asimetris tidak terlalu urgen mengingat UU No. 32/2004 sendiri sesungguhnya sudah bersifat asimetris. Hal ini bisa dilihat misalnya dari konsep kewenangan pilihan sesuai dengan potensi daerah, atau tipologi besaran OPD yang berbeda, atau variasi jumlah DAU yang diterima, atau beragamnya Perda yang diterbitkan, hingga keleluasaan kebijakan lain yang dimiliki oleh daerah. Dengan kata lain, desentralisasi di Indonesia saat ini adalah desentralisasi asimetris. Tugas tim peneliti selanjutnya adalah mencari faktor determinan yang menjadikan kebijakan ini cenderung seragam (simetris) pada tahap implementasinya.
Namun saya memiliki pandangan pribadi yang agak berbeda. Bagi saya, desentralisasi UU No. 32/2004 dan UU Pemerintahan Daerah sebelumnya masih bernuansa sentralistis, karena perbedaan yang diusung masih pada tataran prinsip (beginsel) dan belum sampai kepada tataran implementasi (praktijk). Pengakuan terhadap keanekaragaman daerah bahkan hak-hak asal-usul (autochtoon rechts) ternyata masih pada level konstitusi, dan belum menjelma dalam aktualisasi kebijakan, terutama dibawah UUD dan UU. Dalam praktiknya, peraturan perundang-undangan setingkat PP kebawah nampaknya memberi pedoman yang cenderung seragam, hanya berbeda dalam kadarnya saja.
Artinya, desentralisasi yang masih seragam secara prinsipiil pada hakekatnya adalah sentralisasi. Desentralisasi yang hakiki harus membuka kemungkinan perbedaan se-ekstrim apapun sepanjang perbedaan tersebut benar-benar obyektif/faktual, dapat dibuktikan/dilacak secara akademik, dan mendapat pengakuan luas dari publik. Perbedaan-perbedaan seperti wewenang pilihan, tipologi besaran OPD, variasi jumlah DAU, atau keragaman Perda, hanyalah perbedaan dalam skala(perbedaan administratif), bukan perbedaan dalam identitas(perbedaan substantif/prinsip/material). Artinya, perbedaan dalam wewenang pilihan, tipologi besaran OPD, variasi jumlah DAU, dan lain-lain cukup diterjemahkan sebagai wewenang yang asimetris, kelembagaan OPD yang asimetris, dan perimbangan keuangan yang asimetris, namun bukan desentralisasi asimetris.
Perbedaan skala diatas saya maksudkan sebagai sebuah kondisi yang relatif sama dan ada di sebagian besar daerah otonom, hanya berbeda dalam skalanya saja. Sementara perbedaan identitas saya maknakan sebagai sebuah kondisi faktual yangada di suatu daerah otonom, namun tidak ditemukan sama sekali di daerah otonom yang lain. Meskipun perbedaan dalam skala tetap layak diapresiasi dalam koridor perwujudan pemerintahan demokratis (democratic governance), namun kebijakan desentralisasi di Indonesia akan lebih meyakinkan disebut asimetris yang hakiki jika berani mengakomodir jenis perbedaan yang kedua.
2.      Kondisi antar daerah di Indonesia yang teramat berbeda juga mempersulit diskursus serta upaya mendesain kebijakan tentang desentralisasi asimetris. Paling tidak, keragaman daerah di Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok, yakni:
a.       Secara sosiologis, ada daerah yang memiliki latar belakang budaya (cultural affairs) yang sangat khas, yang secara fisik membedakan dengan identitas budaya yang lain. Contoh konkrit faktor budaya ini misalnya Papua yang merupakan ras Polinesia, sementara bagian barat dan tengah Indonesia sebagian besar adalah ras Melanesia.
b.      Secara historis politis, ada daerah yang memiliki hak atas territorial (right to territorial integrity), dan hak menentukan nasib sendiri, termasuk memilih pemimpinnya (right to self-determination). Contohnya adalah DIY yang merupakan eks kerajaan Mataram dengan wilayah sebagian Jawa Tengah dan Jawa Timur dan memiliki perjanjian politik dengan pemerintah Belanda (http://id.wikisource.org/wiki/Perjanjian_Politik_1940).
Daerah dengan faktor sosiologis kultural maupun historis politis seperti itulah yang secara konseptual paling berhak untuk menerima desentralisasi asimetris. Diluar kedua karakter dasar tersebut memang dimungkinkan adanya perbedaan antar daerah, yang kemudian direspon dengan treatment kebijakan yang berbeda (asimtris). Bedanya, kebijakan asimetris untuk kategori (a) dan (b) diatas muncul karena dorongan dari bawah, sementara pada daerah lain yang tidak memiliki alasan sosiologis kultural maupun historis politis, kebijakan asimetrisnya lebih merupakan grant dari atas (pemerintah pusat).
TIDAK dapat disangkal lagi bahwa desentralisasi merupakan sebuah trend global yang sangat dipercaya mampu mengatasi berbagai persoalan negara-negara modern. Di Indonesia sendiri, desentralisasi merupakan perubahan radikal yang berjalan dalam satu paket dengan reformasi politik, yang ditandai dengan runtuhnya rezim Orde Baru di penghujung akhir abad 20. Oleh karena desentralisasi dan reformasi politik merupakan suatu paket perubahan dalam manajemen negara dan pemerintahan, wajarlah jika salah satu tuntutan utama dari aksi reformasi adalah penerapan desentralisasi yang hakiki, bukan desentralisasi yang sentralistis sebagaimana terjadi dimasa sebelumnya.
Setelah big bang decentralization dibawa oleh UU No. 22/1999, nampaknya terjadi pelambatan sejak diganti dengan UU No. 32/2004. Akibatnya, baru dalam hitungan dua atau tiga tahun, tuntutan untuk melakukan revisi sudah cukup santer. Salah satu aspirasi untuk melakukan revisi adalah bagaimana daerah diberikan lagi kebebasan atau kemandirian yang lebih besar untuk mengurus rumah tangganya. Dengan kata lain, desentralisasi yang ada saat ini masih dinilai besar kadar sentralisasinya, sehingga perlu dikembangkan ide berupa desentralisasi yang asimetris.
Namun bicara soal desentralisasi, pasti akan selalu rumit. Dan karena kerumitan itulah maka pembicaraan soal desentralisasi selalu menarik. Salah satu kerumitan dalam diskusi desentralisasi adalah adanya variabel bentuk negara kesatuan (unitary state). Pertanyaan klasiknya adalah: “Sejauhmana kewenangan (degree of freedom) yang dapat dimiliki daerah otonom, dan sejauhmana pula pembatasan terhadap hak turut campur (degree of intervention) pemerintah pusat terhadap daerah?”. Literatur manapun hingga saat ini belum ada yang berani membuat kesimpulan terkait dengan proprosi ideal antara degree of freedom dengan degree of interventiontersebut.
Pertanyaan yang menggelitik lainnya adalah: ”Logiskah sebuah negara berbentuk kesatuan memberikan desentralisasi kepada daerah-daerah di wilayahnya secara tidak seragam (asymmetrical decentralization)? Bukankah hal tersebut sudah mengarah pada bentuk negara federasi?”. Meskipun pertanyaan tersebut sangat logis, namun filosofi desentralisasi sendiri justru ingin menghilangkan keseragaman yang diciptakan oleh pusat, serta mengakui hak-hak tradisional masyarakat yang memiliki karakteristik beranekaragam serta ke-khas-an sejarah, budaya, etnologi, pranata dan nilai-nilai sosial, maupun kearifan lokal lainnya. Desentralisasi yang mengabaikan fakta obyektif berupa artitektur kekayaan dan warisan budaya (social endowment), atau yang berpikir bahwa masyarakat bergerak linier dalam satu arah dan cara yang sama, bukanlah desentralisasi yang sesungguhnya.
Maka, ketika UU Nomor 22/1999 diganti dengan UU Nomor 32/2004, muncullah banyak kritik dan keberatan dari berbagai kalangan, khususnya aktor-aktor di tingkat lokal. Aturan yang baru ini dianggap membawa agenda sentralisasi atau penyeragaman baru. Semangat keragaman menjadi menipis, dan pengakuan terhadap karakteristik yang khas dari suatu daerah semakin menghilang. Atas berbagai kritik ini, berkembanglah wacana tentang desentralisasi asimetris tadi.
Oleh sebab itu, gagasan tentang desentralisasi asimetris mestinya tidak dipersepsi sebagai bentuk penyimpangan dari ide dasar desentralisasi negara kesatuan, namun justru dipandang sebagai instrumen untuk memperkuat tujuan desentralisasi yakni menciptakan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan negara, sekaligus memperkokoh struktur demokrasi di tingkat lokal. Pembangunan demokrasi lokal memiliki probabilitas untuk lebih diperkuat dengan cara mengakui dan mengakomodasikan setiap perbedaan karakteristik, potensi, kebutuhan, dan latar belakang sejarah masing-masing daerah kedalam sistem kebijakan nasional. Dan mengingat bahwa setiap daerah / wilayah dalam sebuah negara memiliki anatomi politik, sosial, maupun kultural yang beragam, maka desain desentralisasi yang berbeda (atau asimetris) menjadi alternatif yang strategis untuk menghindari terjadinya kekecewaan daerah terhadap pemerintah nasional. Itulah sebabnya, baik di negara kesatuan maupun di negara federal pada masa modern sekarang ini, desentralisasi cenderung tidak sekedar dijadikan sebagai strategi politik melalui transfer wewenang/kekuasaan, atau strategi ekonomi melalui perimbangan keuangan dan fiskal, namun juga menjadi strategi kultural untuk merealisasikan prinsip diversity in unity atau unity in diversity.
Konsep desentralisasi asimetris sendiri berkembang dari konsep tentang asymmetric federation yang diperkenalkan oleh Charles Tarlton pada tahun 1965 (Tillin, 2006: 46-48). Menurut Tillin, terdapat dua jenis asymmetric federation, yakni de facto dan de jure asymmetry. Jenis pertama merujuk pada adanya perbedaan antar daerah dalam hal luas wilayah, potensi ekonomi, budaya dan bahasa, atau perbedaan dalam otonomi, sistem perwakilan atau kewenangan yang timbul karena adanya perbedaan karakteristik tadi. Sedangkan asimetri kedua merupakan produk konstitusi yang didesain secara sadar untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini berhubungan dengan alokasi kewenangan dalam besaran yang berbeda, atau pemberian otonomi dalam wilayah kebijakan tertentu, kepada daerah tertentu saja.
Jika di negara federal terdapat dua jenis federasi asimetris, jenis-jenis atau bentuk-bentuk desentralisasi asimetris apa saja yang dapat diperkenalkan untuk negara kesatuan, khususnya Indonesia? Dalam hal ini, paling tidak ada tiga bentuk yang dapat dipertimbangkan dan/atau dikembangkan lebih lanjutdalam konteks revisi UU Pemerintahan Daerah.
Pertama, desentralisasi asimetris yang dikemas dalam kerangka UU yang berlaku saat ini, yakni UU Nomor 32/2004. Harus diakui bahwa UU ini sebenarnya membuka peluang terjadinya desentralisasi asimetris, meski hanya dilihat dari jenis atau bidang urusan pemerintahan saja. Konsep urusan konkuren (urusan yang dilaksanakan bersama-sama), mestinya disikapi setiap daerah dengan mengidentifikasikan potensi dan karakteristik daerahnya masing-masing, dan tidak perlu berpretensi bahwa seluruh bidang urusan harus dilaksanakan oleh daerahnya. Sebuah daerah yang tidak memiliki wilayah laut, tentu tidak layak membentuk Dinas Perikanan dan Kelautan. Demikian pula suatu daerah yang bercirikan kota besar, bahkan metropolitan, pembentukan Dinas Kehutanan dan Perkebunan adalah hal yang tidak perlu. Jika setiap daerah tidak memiliki orientasi untuk membentuk kelembagaan secara maksimal, maka desentralisasi asimetris berdasarkan jenis-jenis urusan akan terbangun dengan sendirinya.
Kedua, desentralisasi asimetris sesungguhnya juga sudah terjadi di Indonesia dalam bentuk variasi otonomi yang diberikan kepada daerah. Saat ini, terdapat empat bentuk otonomi daerah, yakni: 1) otonomi luas untuk kabupaten/kota secara umum, 2) otonomi terbatas untuk provinsi, 3) otonomi khusus untuk Papua ( UU No. 21/1999) dan Nangroe Aceh Darussalam (UU No. 18/1999 jo. UU No. 11/2006), serta 4) otonomi khusus Jakarta sebagai Ibukota Negara (UU No. 29/2007). Ketika beberapa bentuk otonomi dijalankan secara bersamaan seperti inilah, maka asymmetric decentralization telah terjadi.
Ketiga, desentralisasi asimetris yang lebih bervariasi dibanding bentuk pertama dan kedua diatas. Dalam bentuknya yang paling luas ini, desentralisasi asimetris merupakan reaksi atautreatment individual pemerintah pusat kepada daerah berdasarkan kebutuhan nyata, potensi, dan akar permasalahan yang ada di daerah tersebut. Bali, misalnya, selain memiliki otonomi terbatas sebagai sebuah provinsi, perlu diberikan otonomi khusus dalam bidang kebudayaan, pariwisata dan pengembangan kepercayaan (cq. Agama Hindu). Yogyakarta juga dapat diberikan otonomi khusus dengan pertimbangan sejarah, kedudukan pimpinan daerah, dan akar politik lama sebagai bekas negara yang berdaulat (Kasultanan). Sementara Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat dapat diberikan otonomi khusus dalam pembangunan kawasan dan pengelolaan sumber daya alam wilayah perbatasan. Pada saat yang sama, tujuh provinsi kepulauan (Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau) harus diberikan wewenang tambahan yang lebih luas di bidang perhubungan laut dan udara, perikanan dan kelautan, serta konservasi lingkungan hidup. Singkatnya, Pusat dapat memberikan model-model otonomi berdasarkan identifikasi dan usulan spesifik dari setiap daerah.
Apakah pemberian desentralisasi asimetris tadi akan mengancam keutuhan negara kesatuan (cq. NKRI)? Kekhawatiran ini nampaknya terlalu berlebihan, mengingat negara-negara kesatuan di dunia juga banyak yang menerapkan desentralisasi asimetris, seperti di Jepang, China, atau Perancis. Faktanya, meskipun mereka menerapkan desentralisasi asimetris, namun keutuhan atau integritas negara kesatuan tidak tergoyahkan, dengan pengecualian ”kasus kecil” berupa gerakan separatisme di Uighur, China.
Di Jepang, desentralisasi asimetris bisa disaksikan dalam kebijakan Penetapan suatu daerah sebagai kota inti (Chukaku-shi) atau kota dengan kasus istimewa (Tokurei-shi). China juga memberikan perlakuan berbeda kepada daerah melalui penerapan konsep market decentralization. Berdasarkan konsep ini, pemerintah China menciptakan kawasan ekonomi khusus, kota-kota pantai (open coastal cities), dan zona pembangunan. Pada tahun 1978 ditetapkan empat kawasan ekonomi khusus, yakni Shenzhen, Zhuhai, Shantou dan Xiamen. Kebijakan ini dibarengi juga dengan pemberian otonomi yang sangat luas kepada provinsi Guangdong and Fujian untuk membangun ekonomi di wilayahnya, misalnya diberikannya kewenangan untuk menyetujui investasi bernilai lebih dari US $ 30 juta. Untuk lebih memperkuat market decentralization tadi, hingga 1984 telah ditetapkan 14 kota-kota pantai dan beberapa kota di pedalaman (sepanjang daerah aliran sungai Yangtze dan perbatasan dengan Russia) yang diberikan kewenangan luas serupa dengan kawasan ekonomi khusus (Montinola, Qian and Weingast, dalam Basuki, 2006). Hal serupa terjadi di Perancis dimana dari 22 Region yang ada, wilayah Corse atau Corsica merupakan region yang diberi otonomi khusus yang tidak dimiliki oleh 21 Region lainnya. Secara obyektif hal ini didorong oleh posisi geografis Corsica yang agak terpisah dari wilayah daratan serta memiliki latar belakang sejarah yang spesifik.
Selain itu, dapat dikatakan pula bahwa desentralisasi asimetris bukan hanya layak dikembangkan di negara federal. Konsep otonomi pada negara kesatuan dan negara federal sesungguhnya tidak dapat dibedakan secara mendasar, seperti dikatakan Work (2002: 11): ”There is no broad-based generalisation that can be made about the correlation of federal/unitary states and decentralisation”. Fakta menunjukkan bahwa negara federal dapat bersifat sangat sentralistis, seperti Malaysia, sebaliknya negara kesatuan seperti China justru memiliki derajat desentralisasi (ekonomi) yang relatif tinggi.
Meskipun demikian, ada sebuah trend yang terjadi di kedua bentuk negara, yakni pergerakan bandul sistem politik yang lebih mengarah pada penguatan desentralisasi serta keseimbangan wewenang dan tanggungjawab dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Hal ini berimplikasi pada tuntutan untuk mengurangi campur tangan atau wewenang pusat, yang selama ini dikemas dalam kerangka dekonsentrasi. Pergerakan bandul desentralisasi itu sendiri memiliki kecepatan dan variasi yang berbeda di masing-masing negara, yang mendorong terjadinya konstruksi desentralisasi secara asimetris.
Yang pasti, desentralisasi bukanlah tujuan. Desentralisasi, apakah simetris atau asimetris, hanyalah alat untuk mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara, yakni pemerintahan yang bersih dan efektif disatu sisi, serta masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera disisi lain. ©

Tidak ada komentar:

Posting Komentar